Kegagalan Bush di Irak
Oleh : Fatkurrohman1
Munculnya pemerintahan bayangan dari gerilyawan Sunni yang menamakan diri sebagai Islamic State of Iraq (Negara Islam Irak) merupakan tamparan keras bagi George W. Bush dan pasukan koalisi di Irak yang sampai sekarang masih kesulitan untuk mengalahkan para gerilyawan pasca agresi pada tanggal 20 Maret 2003 (KR,21 April 2007). Pemerintahan bayangan ini menempatkan pemimpin Al Qaidah Irak Abu Hamza al-Muhajer, yang juga sebagai pengganti dari Abu Musab al-Zarqawi, untuk menjadi menteri perang dalam Kabinet Islam tersebut.
Kehadiran pemerintah bayangan ini, tentunya akan semakin menyulitkan George W. Bush, sebagai pencetus perang Irak, untuk segera menyelesaikan persoalan stabilitas keamanan Irak yang terus berkecamuk sampai saat ini. Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah mengapa Bush gagal mengalahkan para gerilyawan Irak pasca agresi 20 Maret 2003 ?. Pertanyaan ini tentunya sangat menarik untuk kita diskusikan karena Bush yang notabene presiden negara super power yang ditopang dengan peralatan tempur yang sangat canggih ternyata kesulitan untuk menaklukkan gerilyawan yang jumlahnya hanya beberapa ratus orang.
Menurut argumentasi penulis, ada beberapa faktor yang menyebabkan mengapa George W. Bush gagal menaklukkan para gerilyawan Irak pasca agresi 20 Maret 2003.
Pertama, anti-Amerika. Meski dalam beberapa hal, kelompok Sunni dan Syiah Irak sering berseberangan pandangan, dan bahkan sering terjadi konflik antar mereka, namun jika dua kelompok tersebut dihadapkan pada Amerika dengan kebijakan agresinya ke Irak maka kelompok Syiah dan Sunni Irak akan bersatu menjadikan AS sebagai common enemy (musuh bersama) mereka.
Hal itu dibuktikan dengan gerakan penyerangan secara terus menerus oleh kelompok Syiah yang dipimpin oleh ulama radikal Syiah, Muqtada al Sadr, yang mengincar pasukan koalisi yang dipimpin oleh AS yang ada di Irak. Hal yang sama juga dilakukan oleh kelompok Sunni yang dipimpin oleh Abu Hamza al-Muhajer, pengganti Abu Musab al-Zarqawi, yang telah ditembak mati oleh pasukan koalisi Irak, yang sekarang menjabat sebagai menteri perang dalam Kabinet Islam dari pemerintah bayangan Negara Islam Irak (Islamic state of Iraq).
Semangat anti-Amerika kelompok Syiah yang didasarkan pada pemikiran bahwa AS adalah bangsa imperalis (penjajah) yang harus keluar dari bumi Irak, sementara kelompok Sunni, para loyalis Saddam Husein, menganggap bahwa AS telah mendongkel kekuasaan Saddam dari jabatan presiden Irak dan untuk itu AS dan pasukan koalisi harus hengkang dari Irak.
Semangat yang sama dari kelompok Syiah dan Sunni ini, telah membuat Presiden AS George W. Bush dan pasukan koalisi Irak kewalahan. Serangan bom bunuh diri dan ranjau darat yang dipasang oleh kelompok Syiah dan Sunni Irak setidak-tidaknya telah menelan hampir 1500 pasukan AS tewas di bumi Irak. Hal itu belum termasuk warga sipil Irak yang tewas per hari yang mencapai 100 orang dan korban tewas dari pasukan koalisi di Irak yang jumlahnya mencapai ribuan.
Kedua, gagalnya demokrasi Bush. Apa yang dikalkulasi oleh Bush dan tim inteljennya (CIA) sebelum agresi 2003 ternyata meleset jauh dari apa yang diharapkan sebelumnya. Bush dan CIA menganggap bahwa pasca runtuhnya rezim Saddam yang otoritarian akan serta merta membuat rakyat Irak menjadi simpati terhadap AS.
Hal ini dengan asumsi bahwa dengan jatuhnya rezim Saddam maka rakyat Irak akan terbebas dari otoritarianisme pemerintahan Saddam Hussein dan akan menerima dengan tangan terbuka kehadiran pasukan koalisi Irak. Tetapi, fakta di lapangan menunjukkan bahwa pasca agresi yang di pimpin AS ternyata menimbulkan persoalan yang rumit. Persoalan-persoalan tersebut bisa kita lihat dari kolompok-kelompok baik Syiah maupun Sunni yang merasa tidak puas dengan model pemerintahan demokrasi yang dibentuk AS pasca tumbangnya Saddam Husein dari posisinya sebagai presiden Irak.
Kelompok-kelompok tersebut terus merecoki jalanya pemerintahan baru Irak dengan cara mengincar para menteri yang duduk dalam kabinet pemerintahan Perdana Menteri Irak Nouri al-Maliki untuk dibunuh. Upaya pembunuhan menteri-menteri tersebut biasa dilakukan oleh kelompok Syiah maupun Sunni dengan memasang bom di jalan-jalan yang sering dilewati oleh para pejabat Irak maupun melakukan penyerang terhadap green zone (zona hijau) yang merupakan tempat tinggal para menteri, PM, dan Presiden Irak.
Ketiga, tantangan domestik Amerika Serikat. Dalam hal ini penulis lebih menekankan pada level sikap kongres AS dan sikap rakyat AS terhadap perang Irak. Di level kongres ( senat dan DPR) yang saat ini diketuai oleh Nancy Pelosi dari Partai Demokrat terus menekan Bush untuk segera menarik pasukan AS di Irak. Tekanan Partai Demokrat di kongres terhadap Bush dilakukan dengan cara membuat persyaratan khusus dengan Bush lewat RUU tambahan dana untuk perang Irak dan Afghanistan.
Persyaratan khusus tersebut berisi bahwa kongres yang di dominasi oleh Partai Demokrat, yang juga rival terberat Partai Republik yang menaungi George W. Bush, mau mengesahkan RUU tambahan dana untuk perang Irak yang mencapai USD 122 miliar jika Bush mau menarik pasukan AS di Irak deadline 31 Maret 2008.
Di level rakyat Amerika Serikat, Bush selalu mendapatkan tekanan dari rakyatanya yang menentang kebijakan luar negerinya melakukan agresi ke Irak melalui demonstrasi besar-besaran yang digelar di hampir seluruh kota di AS. Opini yang terus berkembang di AS adalah keharusan bagi Bush untuk menarik pasukan AS di Irak karena Irak telah menjadi bumi pencabut nyawa bagi tentara AS.
Tekanan yang sangat kuat di level domestik, senat dan rakyat AS, kepada Bush untuk segera menarik pasukan AS di Irak serta serangan yang bertubi-tubi dari kelompok Syiah dan Sunni yang mengakibatkan tewasnya ribuan pasukan AS menjadi bukti konkret bahwa Bush telah gagal dalam menjalankan kebijakan luar negerinya di Irak.
1 Mahasiswa Pascasarjana Konsentrasi Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogjakarta, sekaligus peneliti di PSKP (Pusat Studi Kebijakan Publik) UGM Jogjakarta. E-mail : fatkurrohman_demak@yahoo.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar