Welcome to the Enlightening Idea

The very powerful word combining of media makes it very overwhelming to change of the world

Senin, 09 Juli 2007

Hukum Internasional Sebagai Instrumen Politik

Review Terhadap Tulisan Hikmahanto Juwana Yang Berjudul
“Hukum Internasional Sebagai Instrumen Politik :
Beberapa Pengalaman Indonesia Sebagai Studi Kasus”
Oleh : M. Fathurrohman Turmudzi[1]

Fungsi hukum internasional dalam konteks ilmu hukum dipahami sebagai aturan-aturan yang berlaku bagi aktornya dan sebagai instrumen yang digunakan oleh suatu negara untuk mewujudkan kepentingan nasionalnya (international law as instrument of national policy) atau dalam hal ini sebagai instrumen politik yaitu hukum internasional yang berfungsi sebagai alat yang harus dibedakan dengan hukum internasional sebagai suatu kaidah.
Suatu negara akan menggunakan berbagai instrumen politik seperti ketergantungan ekonomi, pertahanan, dan hukum internasional untuk mengenyampingkan halangan kedaulatan negara lain dalam mencapai kepentingan nasionalnya. Dalam hal ini Indonesia belum optimal dalam memanfaatkan hukum internasional sebagai instrumen politik dalam mencapai kepentingan nasionalnya.
Pemanfaatan Hukum Internasional
Ada beberapa hal yang menyangkut pemanfaatan hukum internasional diantaranya adalah sebagai alat untuk mencapai kepentingan nasional, alat legitimasi kekuasaan demi kebaikan atau keburukan, alat pemaksa penguasa kepada rakyatnya, dan alat penguasa untuk mengubah perilaku masyarakatnya. Pemanfaatan hukum internasional sebagai instrumen politik adalah sebagai berikut.
Pertama, sebagai pengubah konsep atau pembuat konsep baru. Konsep ini jika diterima oleh mayoritas masyarakat internasional akan memiliki daya ikat. Cara yang efektif adalah dengan mengakomodasi suatu konsep baru ke dalam perjanjian internasional atau melakukan sebuah amandemen terhadap isi perjanjian internasional. Misalnya Australia, Jepang, Jerman menghendaki adanya perubahan pada keanggotaan DK PBB. Hal ini tentunya membutuhkan upaya amandemen dalam piagam PBB khususnya pasal 53 dan 107. Jika melalui amandemen gagal, maka negara yang memiliki kepentingan nasional tertentu akan berupaya untuk melakukan interpretasi ulang terhadap isi perjanjian internasional yang ada. Misalnya penafsiran ulang dalam intervensi kemanusiaan oleh PBB atau negara tertentu.
Kedua, sebagai sarana intervensi urusan domestik. Berpijak pada keinginan negara untuk mencapai kepentingan nasionalnya untuk intervensi negara lain tanpa dianggap sebagai sebuah pelanggaran. Cara yang paling efektif untuk melakukan intervensi adalah dengan memanfaatkan perjanjian internasional sebagai salah satu produk hukum internasional (hukum nasional harus sesuai dengan hukum internasional). Misalnya perjanjian perdamaian yang ditandatangani di San Francisco pada tahun 1951 antara Jepang dan Kekuatan Sekutu menyatakan bahwa Jepang tidak akan menggunakan kekerasan dalam penyelesaian sengketa dan mempercayakan masalah keamanan pada mekanisme PBB. Hal ini berimplikasi pada kebijakan dalam negeri Jepang untuk tidak memiliki kemampuan perang dan menggantungkan masalah pertahanan pada negara lain (AS). Selain melalui hukum internasional, intervensi urusan domestik negara lain juga bisa karena adanya ketergantungan ekonomi, pertahanan, dan lain-lain.
Ketiga, sebagai alat penekan. Negara menggunakan hukum internasional untuk menekan negara lain agar mengikuti kebijakanya. Misalnya AS dan Inggris memanfaatkan hukum internasional untuk menekan Irak agar memberi akses kepada para pemeriksa internasional atas dugaan kepemilikan senjata pemusnah massal (WMD) yang dimilikinya. Legitimasinya adalah dengan menggunakan keanggotaan Irak di NPT dan resolusi PBB No.661 tahun 1990. Karena gagal dengan dua mekanisme tersebut maka AS melakukan agresi ke Irak pada tanggal 20 Maret 2003 (Resolusi DKK PBB No 1441 dan pasal 51 piagam PBB).
Hukum internasional juga bisa dimanfaatkan oleh negara yang mendapatkan tekanan untuk menolak tekanan dari negara lain. Misalnya Prancis, Rusia, dan Jerman menolak desakan AS untuk ikut bersama melakukan agresi ke Irak.
Pemanfaatan Hukum Internasional Oleh Negara Maju Terhadap Negara Berkembang
Pemanfaatan hukum internasional oleh negara maju terhadap negara berkembang meliputi dua hal yaitu untuk turut terlibat dalam kebijakan dalam negeri negara berkembang, dan menekan negara berkembang untuk melakukan tindakan yang sesuai dengan kebijakan negara maju.
Pertama, Untuk turut terlibat dalam kebijakan dalam negeri negara berkembang. Hal ini bisa melalui jalur ekonomi (untuk tidak melakukan proteksionisme), lingkungan hidup (menjaga kelestarian lingkungan), dan HAM (untuk tidak melakukan pelanggaran HAM), yang terpenting adalah kepentingan nasional negara maju tercapai.Untuk itu maka negara maju akan membuat perjanjian internasional agar kebijakan nasional bisa bergaris lurus dengan perjanjian internasional tersebut.
Kedua, menekan negara berkembang untuk melakukan tindakan sesuai dengan kebijakan negara maju. Dengan cara mendorong negara berkembang untuk ikut dalam berbagai perjanjian internasional yang dibuat oleh negara maju. Jika negara berkembang sudah mengikuti perjanjian internasional, tetapi tidak mematuhi peraturan maka negara maju tidak akan segan-segan “menghukum” negara berkembang.
Pengalaman Indonesia
Pertama, pemanfaatan hukum internasional terhadap Indonesia. Perjanjian internasional yang dibuat oleh negara maju atau organisasi internasional digunakan untuk mengekang kebebasan dan kedaulatan. Misalnya yang sudah ditandatangani Indonesia adalah TRIPs tentang Haki, ILO tentang perburuhan, protokol montreal tentang lapisan ozon, dan ICTET tentang pengadilan HAM kejahatan Timor Timur. Perjanjian tersebut sangat superficial atau tidak tercapai dalam realitas karena hukum internasional gagal ditransformasikan ke hukum nasional dan lemahnya penegak hukum.
Kedua, pemanfaatan hukum internasional oleh Indonesia. Ada beberapa keberhasilan dan kegagalan Indonesia dalam menggunakan hukum internasional sebagai instrumen politik. Beberapa yang berhasil diantaranya adalah keberhasilan Indonesia dalam memperkenalkan konsep negara kepulauan (archipelagic state) yang kemudian diakomodasi dalam Konvensi Hukum Laut Internasional 1982. Kemudian sengketa Malaysia-Indonesia mengenai Sipadan dan Ligitan yang berhasil dibawa ke Mahkamah Internasional, meski akhirnya Indonesia kalah dengan Malaysia (1997).Kegagalanya adalah GSO (Geo-Stationery Orbit) tidak menjadi bagian dari Indonesia.
Pemanfaatan hukum internasional sebagai alat penekan terhadap negara lain, pernah dilakukan oleh Indonesia terhadap Swedia dalam persoalan GAM dan mencapai keberhasilan. Sementara kegagalan Indonesia adalah tidak bisanya Hambali untuk diekstradisi dari AS ke Indonesia.
Diplomasi Dengan Memanfaatkan Hukum Internasional
Hukum internasional sebagai instrumen politik sangat penting dalam menjalankan diplomasi. Untuk itu para diplomat perlu dibekali dengan pengetahuan tentang hukum internasional sehingga dalam berargumentasi bisa menyakinkan diplomat negara lain. Selain itu diperlukan juga kemampuan untuk memahi teks hukum internasional secara cermat.
[1] Mahasiswa Pascasarjana Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada Jogjakarta.

Tidak ada komentar: