Welcome to the Enlightening Idea

The very powerful word combining of media makes it very overwhelming to change of the world

Senin, 09 Juli 2007

The Challenge of Rebuilding War-Torn Societies

Review Atas Tulisan Nicole Ball Tentang
“ The Challenge of Rebuilding War-Torn Societies”
Oleh : M. Fathurrohman Turmudzi
[1]
Di akhir pertengahan abad ke-20, rata-rata hamper 1 juta orang tewas tiap tahun yang disebabkan oleh konflik bersenjata. Konflik bersenjata telah memperlambat proses pembangunan dan mengikis fondasi pembangunan negara seperti munculnya sebuah fenomena banyaknya orang yang meninggalkan rumah mereka, perndidikan mereka, melarikan diri dari negara mereka, dan bahkan terbunuh dalam konflik bersenjata. Selain itu juga, rusaknya infrastruktur ekonomi, menipisnya sumber-sumber ekonomi negara, serta rusaknya sistem politik, ekonomi, sosial, dan munculnya persoalan psikologi yang akut.
Lingkungan Pascakonflik dan Fase-Fase Proses Perdamaian
1. Lingkungan Pascakonflik
Perang sipil terjadi di negara-negara dengan tingkatan politik, pembangunan ekonomi, sistem sosial, sumber daya manusia, budaya, dan sejarah yang berbeda-beda. Ciri-ciri masyarakat yang rusak akibat perang ada tiga. Pertama, ciri-ciri institusional yang meliputi institusi administratif dan politik yang lemah, sistem politik nonpartisipatory, kompetisi kekuasaan yang berorientasi pada pengaturan, legitimasi pemimpin politik yang terbatas, serta lemahnya konsensus mengenai arah negara. Karakteristik yang kedua adalah karakteristik sosial dan ekonomi. Karakteristik ini mencakup kerusakan yang luas terhadap infrastruktur sosial dan ekonomi, tingkat hutang yang tinggi, anggaran pertahanan yang tinggi yang tidak mendukung, penyusutan ekonomi legal dan ekspansi ekonomi ilegal yang signifikan, kerusakan sumber daya manusia, konflik terhadap pemilikan dan akses tanah, bias gender, penurunan lingkungan, struktur sosial yang lemah, dan indikator-indikator sosial yang rendah.
Karakteristik yang ketiga yang terjadi dalam lingkungan pascakonflik adalah karakteristik keamanan. Karakteristik keamanan meliputi kekuatan keamanan yang terlalu banyak, oposisi bersenjata dan kekuatan paramiliter, perlu untuk menetapkan lingkungan keamanan dan restrukturisasi keamanan yang sesuai, kurangnya transparansi dalam masalah keamanan dan pertanggungjawaban untuk otoritas sipil, peran poltik dari kekuatan militer, dan sejarah penyalahgunaan HAM yang dilakukan oleh kekuatan keamanan.
2. Tingkatan dan Fase Proses Perdamaian
Seperti pengalaman negara yang sedang bangkit dari konflik dengan karakteristik tertentu, proses perdamaian didasarkan penyelesaian negosiasi tanpa pihak pemenang mengajukan persamaan yang signifikan. Di negara-negara ini, dua tahapan proses perdamaian dapat diidentifikasi dengan fase setiap tahapan yang mempunyai dua komponen. Panjang setiap tahapan dan fase, bermacam-macam sesuai situasi tiap negara. Perpindahan dari satu fase ke fase yang lain tidak berjalan secara otomatis, seperti banyaknya upayan ke arah perdamaian seperti yang terjadi di Angola, Liberia, Rwanda, dan Sierra Leon.
Tahapan pertama adalah penghentian konflik yang bertujuan mencapai kesepakatan sebagai isu utama agar konflik dapat dihentikan dan rekonstruksi politik, sosial dan ekonomi dapat dimulai. Tahapan ini memiliki dua fase yaitu negosiasi dan penghentian permusuhan. Tahap kedua yaitu peacebuilding. Pada tahap ini juga memiliki dua fase. Yaitu fase transisi dan konsolidasi. Prioritas selama dua fase adalah memperkuat institusi politik, konsolidasi keamanan internal dan eksternal serta revitalisasi ekonomi dan sosial. Tujuan utama selama fase transisi adalah membangun pemerintahan dengan tingkat legitimasi yang cukup untuk mengoperasionalkan secara efektif dan untuk implementasi kesepakatan perdamaian. Sementara, tujuan selama dilakukan konsolidasi adalah melanjutkan proses reformasi.
3. Tugas Peacebuilding
Tugas peacebuilding diantaranya adalah pertama, menyediakan tingkat keamanan yang kondusif yang memungkinkan aktivitas-aktivitas ekonomi untuk melakukan perbaikan, mengajak pengungsi untuk kembali menata kehidupan serta menjaga komunitas bisnis untuk investasi. Kedua, memperkuat kemampuan pemerintah untuk melaksanakan tugas-tugas pokok, ketiga, membantu mengembalikan pengungsi ke tempat asal, keempat, mempromosikan rekonsiliasi nasional, kelima, menstabilkan mata uang nasional dan rehabilitasi institusi finanisal, keenam, memberikan prioritas ke kelompok sosial dan are geografi yang terpengaruh konflik.
Ada beberapa alasan penting ketika menentukan pembangunan ekonomi yang berperan untuk memperkuat stabilitas di negara transisi. Pertama, kelemahan yang ekstrim dari beberapa ekonomi yang rusak karena konflik. Dalam kasusu ini, seseorang jarang berbicara pembangunan ekonomi jika tidak negara mengalami periode rehabilitasi ekonomi dan rekonstruksi. Kedua, beberapa ekonomi di negara-negara yang rusak karena perang memerlukan konstruksi daripada rekonstruksi. Ketiga, transisi dari perang ke damai sebenarnya tidak mungkin sepanjang kelompok konflik mempunyai akses SDA yang dapat menimbulkan harga tinggi pada pasar internasional. Misalnya Angola, DRC, dan Sierra Leon adalah contoh utama konflik yang melanjutkan hingga akses berlian, minyak ditolak baik lewat militer atau lewat kerjasama internasional. Keempat, menetapkan pembangunan ekonomi sebagai peran utama dalam pembangunan masyarakat transisi adalah hubungan antara pembangunan ekonomi yang berorientasi pengurangan kemiskinan, pembangunan politik, dan keamanan.
Tugas utama di sektor keamanan untuk membuat negara di era perang sipil menuju damai adalah sebagai berikut, pertama, restrukturisasi kekuatan keamanan yang didasarkan pada doktrin pascakonflik, misi dan realitas anggaran. Kedua, meneruskan pembangunan yang pararel dari sistem peradilan kriminal, ketiga, mengatur analisis keamanan masyarakat baik sektor publik maupun masyarakat sipil, keempat, mengakhiri bentuk ekstralegal dari rekrutmen menuju sektor keamanan, dan yang kelima, memperluas kemampuan otoritas sipil untuk mengatur dan mengawasi aktivitas kekuatan keamanan.
Peran Donor dan Pertanggungjawaban Dalam Mendukung Pembangunan Kembali Masyarakat yang Rusak Akibat Perang
Komunitas internasional mengakui bahwa kelompok-kelompok yang bertikai perlu bantuan tidak hanya menegosiasikan persetujuan perdamaian, tetapi juga mengkonsolidasikan perdamaian. Empat komponen inti peacebuilding :
1. Membuat Mitra yang Cocok Antar Aktor Eksternal
Salah satu hal yang semakin menyatu ke dalam kebijakan dan program dari aktor internasional, yaitu menghubungkan pentingnya bantuan dari masuknya komunitas internasional dalam proses perdamaian. Awal tahun 1990, memunculkan adanya tendensi bahwa usaha militer dan diplomatik harus dikonsentrasikan dalam negosiasi, penghentian konflik dan fase transisi sementara bantuan teknisi dan finansial harus dikonsentrasikan dalam fase transisi. Jadi peran donor dalam negosiasi adalah negosiasi Dayton terhadap Bosnia yang dibantu PBB yang dilakukan di Guatemala.
2. Mendalami Efektivitas Bantuan Peacebuilding
Donor telah mencoba untuk improvisasi efektivitas bantuan dalam masyarakat yang rusak akibat perang. Salah satu yang telah diidentifikasikan adalah pentingnya fleksibilitas, mengeluarkan dana secara cepat seperti kasus Afrika Selatan terhadap persoalan apharteid untuk menuju demokrasi. Afsel menjalankan hal ini karena perlu finansial dalam menata negaranya kembali yang terkoyak akibat konflik.
3. Mengefektifkan Pengkoordinasian Donor
Kesuksesan koordinasi tergantung besarnya kualitas staf di lapangan seperti gaya kerja yang kolaboratif, kreatif, kecerdikan politik serta kemampuan berbahsa yang baik dan benar.
4. Memulai Kembali Pemerintahan
Salah satu prioritas pascakonflik adalah membangun pemerintahan tatanan politik atau pemerintahan kembali karena ketika perang berakhir pihak pemerintahan kekurang staf yang berkualitas dan tidak bisa menjalankan fungsi-fungsi utamanya yaitu salah satunya memberikan pelayanan ke masyarakat.
Kesimpulan
Permulaan tahun 1990, komunitas internasional telah memiliki pengalaman yang baik dalam menyelesaikan persoalan di wilayah pascakonflik dengan cara melakukan mengimplementasikan perubahan-perubahan penting dalam menata masyarakat atau negra yang rusak akibat konflik.
Argumentasi Penulis
Penulis sepakat pandangan Ball mengenai proses menuju perdamaian tidak berjalan secara otomatis seperti yang tergambar dalam fase-fasenya. Bukan sebuah jaminan ketika sudah sukses di level penghentian konflik kemudian bisa langsung menuju peacebuilding. Kasus yang sangat representatif dalam hal ini kasus yang terjadi di Angola, Liberia, Rwanda, dan Sierra Leon. Dimana setelah terjadi negosiasi dan penghentian konflik tidak serta merta menuju fase transisi dan konsolidasi.
Untuk menuju perdamaian dalam hal ini menuju masyarakat transisi dan konsolidasi diperlukan sebuah kinerja yang ekstra dari pihak-pihak yang bertikai khususnya persoalan untuk saling memahami antara pihak yang satu dengan pihak yang lain. Kasus yang kontemporer mengenai gagalnya fase negosiasi menuju transisi dan konsolidasi antar negara adalah konflik antara Israel- Palestina. Konflik Israel-Palestina telah beberapa melakukan negosiasi, tetapi beberapa kali juga gagal menuju fase konsolidasi. Hal ini karena kesepakatan dan gencatan senjata yang disetujui dalam perjanjian (signing peace accord and establishing cease-fire) diingkari oleh salah satu pihak atau bahkan keduanya. Selama tidak ada kepatuhan dalam perjanjian yang telah disepakati bersama maka proses menuju perdamaian akan sulit terwujud.
Sealain, kasus konflik Israel-Palestina dilihat dari perspektif kesepakatan dan gencatan senjata. Kasus melemahnya konsolidasi Israel-Palestina adalah munculnya kekuatan hegemon yang melindungi Israel. Kekuatan hegemon tersbut adalah AS. Ketika AS melindungi Israel, maka selama itu pula proses perdamaian di Timur Tengah akan mustahil terwujud. Dalam hal ini mestinya sebagai negara besar harus bisa mengfungsikan peranya sebagai stabilizer bagi perdamaian di Timur Tengah khususnya konflik Israel-Palestina.
Kuatnya kepentingan AS di Timur Tengah serta peran Israel yang sangat penting bagi kepentingan AS di Timur tengah menjadi salah satu variable penting untuk menjelaskan masih terus berkecamuknhya konflik yang terjadi antara Israel-Palestina. Sebetulnya jika AS mau menurunkan sedikit kefanatikanya terhadap Israel dan bisa melihat objectif terhadap persoalan Israel-Palestina maka proses menuju perdamaian di Timur Tengah khususnya konflik Israel-Palestina akan mudah diselesaikan.
Salah satu kefanatikan AS ke Israel adalah ketika tentara Israel dan tank-tanknya menghancurkan perumahan-perumahan warga sipil Palestina, yang hal tersebut secara tegas diatur dalam kesepakatan perdamaian antara Israel-Palestina, AS sebagai yang semestinya menjadi balanzer dunia, tidak bertindak sama sekali, bahkan cenderung menyetujui sikap Israel tersebut.
Jadi proses menuju peace building pasca terjadinya negosiasi tidak begitu saja berjalan otomatis. Selama signing peace accord, establishing cease-fire tidak disepakati dan hal tersebut ada kecenderungan disetujui oleh negara kuat maka proses menuju kestabilan pasca perang akan sulit terwujud.
[1] Mahasiswa Pascasarjana Konsentrasi Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada Jogjakarta.

Tidak ada komentar: