Iran di Ujung Tanduk
Oleh : Fatkurrohman[1]
Tanggal 19-23 Oktober merupakan tanggal yang bersejarah bagi terciptanya zona bebas nuklir di kawasan Timur Tengah. Dalam rentang tanggal tersebut, telah di adakan pertemuan di Wina, Austria, antara Iran dan ketiga major power yakni Rusia, Prancis, dan AS. Dalam pertemuan itu terjadi perdebatan yang sangat alot sehingga berujung pada deadlock antara Iran dan ketiga negara anggota tetap Dewan Keamanan (DK) PBB.
Argumentasi yang dibangun oleh Iran dalam forum tersebut adalah program nuklir Iran akan digunakan untuk tujuan damai bukan untuk melakukan invansi ke negara lain. Sementara Badan Energi Atom Internasional (IAEA) kurang mempercayai keinginan Iran sehingga harus membuat deadline baru bagi Iran jika sampai akhir tahun ini tidak ada kesepakatan maka Rusia akan mengambil alih pengolahan uraniumnya.
Kemudian yang menjadi pertanyaannya adalah mengapa Rusia yang dahulu dikenal dekat dengan Iran sekarang begitu dekat dengan pihak yang kontra dengan Iran yakni yakni Amerika Serikat ?. Bagaimana dengan posisi China?. Seberapa kuat peran Israel dalam memainkan kartu nuklir Iran dalam zona bebas nuklir Timur Tengah?. Pertanyaan-pertanyaan tersebut sangat menarik untuk kita diskusikan bersama karena fenomena nuklir dan dinamika aliansi begitu sangat kuat mewarnai politik-keamanan Timur Tengah akhir-akhir ini.
Program nuklir Iran mulai bergulir menjadi sebuah wacana yang menyita banyak perhatian dunia internasional ketika Iran di bawah kendali Mahmoud Ahmadinejad pada tahun 2005. Sosok Ahmadinejad yang dikenal sangat ultrakonservatif (garis keras) dan pernah memunculkan opini perlunya penghapusan Israel dari peta dunia semakin membuat nama Ahmadinejad semakin menjadi sorotan dunia khususnya negara-negara Barat.
Kepemilikan dan pengolahan uranium Iran yang disinyalir Barat akan dibuat senjata nuklir membuat Iran harus menerima sanksi berupa pencekalan para elit-elit yang di duduk di pemerintahan dan adanya embargo ekonomi. Di tengah jepitan dan bahkan tekanan dari Barat, Rusia selalu membantu Iran dengan cara menjelaskan ke dunia internasional bahwa program nuklir Iran adalah untuk tujuan pengembangan pengetahuan dan suplai energi listrik.
Hal tersebut dilakuakan oleh Rusia karena program nuklir Iran tidak bisa dilepaskan dari bantuan Rusia baik dari segi transfer teknologinya maupun finansial. Hubungan yang dekat antara Iran dan Rusia ini agak renggang karena kecanggihan Obama dalam memainkan politik caturnya terhadap Rusia dan China.
Strategi Obama yang membatalkan sistem pertahanan misilnya di Polandia dan Ceko menjadi obat yang sangat mujarab bagi Obama dalam meluluhkan hati pemerintah Rusia. Hal ini sangat penting karena sejak AS di bawah kekuasaaan Bush yang membangun pertahanannya di Polandia dan Ceko telah membuat Rusia merasa sangat terancam meski AS saat itu mengklaim bahwa sistem pertahanannya di Polandia dan Ceko hanya untuk menangkis misil Iran bukan untuk mengganggu keamanan Rusia.
Fenomena tersebut akhirnya membuat Rusia berpaling ke AS dan mendukung kebijakan AS khususnya dalam menangani masalah program nuklir Iran. Rusia yang dahulu selalu di belakang Iran, sekarang sikapnya sudah agak berubah sejak pencabutan sistem pertahanan misil AS di Polandia dan Ceko dan kondisi ini sekaligus mengantarkan kepada kita munculnya fenomena Iran akan menghadapi tekanan Barat tanpa adanya bantuan dari negara-negara besar.
Segendang sepenarian dengan Rusia, pemerintah China juga mengalami hal yang sama. China dahulu begitu sangat dekat dengan Iran, tetapi semenjak pemerintahan Obama menerapkan kebijakan yang memberi akses yang lebih besar bagi produk-produk China untuk masuk ke dalam domestik AS, telah membuat China menjadi sangat keras dengan Iran dan berada dalam barisan AS.
Fenomena Rusia dan China yang merapat dalam barisan AS telah mengubah konfiguarasi politik dunia dalam menyikapi masalah nuklir Iran. Setidak-setidaknya kalau dahulu Iran selalu dibantu dan ditopang oleh Rusia dan China dalam hal program nuklir di DK PBB sekarang kedua negara tersebut telah berbalik arah dan menjadi pro dengan AS dan sekutu-sekutunya.
Posisi Iran di Timur Tengah menjadi sangat terpojok ketika Israel telah memainkan kartu nuklir Iran sebagai hal yang sangat membahayakan terhadap keamanan Timur Tengah khususnya keamanan negaranya. Hal ini terkait dengan hubungan yang tidak harmonis antara Israel dan Iran. Israel telah sukses dalam membangun opini di tingkat dunia internasional dan domestik AS agar Iran mendapatkan sanksi atas program nuklirnya.
Sisi yang lain adalah keberhasilan Israel dalam mengamankan kepentingan senjata nuklirnya. Menurut data yang dirilis pihak SIPRI (Stockholm International Peace Research Institute) merilis bahwa Israel memiliki senjata yang berhulu ledak nuklir berjumlah 80 buah. Selain itu Israel juga tidak menandatangani kesepakatan nonproliferasi nuklir internasional (NPT).
Bergesernya posisi Rusia dan China ke dalam barisan Barat (AS) dan kesuksesan lobi yahudi di AS dalam mengamankan senjata nuklirnya telah membuat Iran saat ini seperti dalam posisi di ujung tanduk. Jika Iran tidak bisa membuktikan kepemilikan program pengolahan uraniumnya yang diklaim sebagai kepentingan damai maka nasib Iran bisa diprediksikan akan semakin dikucilkan dalam pergaulan dunia internasional. Wallahu a’lam bishawab.
[1] Dosen Prodi Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.