Welcome to the Enlightening Idea

The very powerful word combining of media makes it very overwhelming to change of the world

Kamis, 24 April 2008

Abstain dalam Nuklir Iran
Keputusan resolusi Dewan Keamanan (DK) PBB yang merupakan reosolusi ketiga dalam menanggapi masalah pengembangan energi nuklir Iran telah diputuskan minggu kemarin. Resolusi yang bernomor 1803 itu, memeperkuat resolusi sebelumnya yakni resolusi 1737 pada tahun 2006 dan resolusi 1747 pada tahun 2007, berisi tentang pembekuan terhadap aset, pelarangan dan pembatasan sejumlah pejabat yang terkait dengan nuklir Iran, pembekuan keuangan, dan pemeriksaan barang di pesawat dan kapal dari dan ke Iran.
Kesepakatan terhadap resolusi terbaru terhadap negeri para Mullah tersebut telah mendapatkan dukungan mayoritas dari anggota Dewan Kemanan PBB yang berjumlah 15 negara. Di antara ke-15 anggota DK PBB, hanya Indonesia yang tidak memberikan dukunganya terhadap terbitnya resolusi tersebut. Pemerintah Indonesia telah bersikap abstain (tidak memberikan suara) dalam pengambilan keputusan resolusi Iran yang digagas oleh Amerika Serikat dan Uni Eropa tersebut.
Kemudian yang menjadi pertanyaanya adalah mengapa Indonesia bersikap abstain terhadap resolusi 1803 Dewan Keamanan PBB ?. Pertanyaan ini sangat menarik kita diskusikan karena sikap Indonesia yang sejak awal mendukung resolusi pertama dan kedua, tetapi untuk resolusi yang ketiga mempunyai sikap yang berbeda dengan resolusi-resolusi sebelumnya.
Kedaulatan
Indonesia merupakan negara yang sangat concern terhadap persoalan-persoalan dunia internasional baik persoalan yang menyangkut hak asasi manusia, perdagangan manusia, maupun kemanan internasional (nuklir). Dalam mewujudkan perhatianya tersebut, pemerintah Indonesia selalu berpijak dalam konsep kebijakan luar negeri (foreign policy) yang bebas aktif. Bebas berarti bebas untuk melakukan kebijkan luar negeri secara berdaulat, sementara aktif bermakna aktif dalam panggung internasional dalam menjaga keamanan dan ketertiban dunia internasional.
Untuk merespon persoalan nuklir Iran yang telah menjadi perhatian dunia internasional saat ini, Indonesia telah berpegang pada kebijakan luar negerinya yang bebas dan aktif. Hal itu bisa dilihat dari implementasinya dalam pengambilan keputusan resolusi 1803. Sikap Indonesia yang tidak memberikan suara (abstain) di tengah ke-14 anggota Dewan Keamanan yang lain yang setuju merupakan sikap yang independen dan berdaulat.
Kedaulatan dalam melakukan pengambilan kebijakan luar negeri yang terbebas dari pengaruh maupun intervensi asing adalah cerminan dari sebuah bangsa yang independen dan bermartabat. Fakta ini sangat penting untuk dikemukakan karena dalam beberapa catatan dalam panggung internasional, pemerintah Indonesia yang notabene sebagai negara yang berkembang seolah-olah hanya mengikuti keinginan kepentingan nasional negara besar (Amerika Serikat).
Fakta rapuhnya kedaulatan bangsa Indonesia dalam pengambilan kebijakan luar negeri bisa kita lihat dari munculnya sikap Indonesia dalam menyetujui resolusi 1737 dan resolusi 1747 terhadap persoalan nuklir Iran. Maka tidak mengherankan jika sikap pemerintah tersebut khususnya resolusi yang kedua mendapatkan kecaman dan hujatan dari masyarakat Indonesia. Untuk merespon hal tersebut, tidak tanggung-tanggung DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) pun menggalang kekuatan guna mengajukan hak interpelasi ke pemerintah mengenai dukungan Indonesia terhadap resolusi 1747.
Dewan Perwakilan Rakyat menganggap bahwa sikap pemerintah yang mendukung resolusi kedua tersebut dianggap sebagai ketakutan pemerintah terhadap negara besar (AS). Sudah menjadi rahasia umum bahwa Amerika Serikat mempunyai kepentingan yang sangat signifikan dalam mewujudkan kepentingannya untuk memperoleh sumber minyak Iran yang merupakan terbesar kedua dunia setelah Arab Saudi. Maka tidak mengherankan jika AS berusaha sekuat tenaga untuk menggalang kekuatan untuk memberikan sanksi ke Iran dengan alasan pengayaan uranium dalam pembuatan senjata nuklir.
Indonesia sebagai negara yang mempunyai kedekatan secara religi (Islam) dengan Iran memberikan kontribusi yang positif ketika menyetujui resolusi 1737 dan 1747. Kontribusi positifnya berupa penambahan jumlah anggota yang setuju terhadap resolusi meski sebelum munculnya resolusi tersebut pemerintah Indonesia telah berjanji untuk mendukung pengembangan energi Iran ketika Presiden Iran, Mahmoud Ahmadinejad, berkunjung ke Indonesia medio 2007.
Ini artinya bahwa kebijakan politik luar negeri Indonesia masih berada dalam bayang-bayang negara besar seperti Amerika Serikat. Kelembekan politik luar negeri ini menunjukkan bahwa kebijakan politik luar negeri Indonesia tidak bebas dan tidak berdaulat.
Fakta kebijakan politik luar negeri yang awalnya lembek dalam menyikapi masalah nuklir Iran, sedikit menemukan bentuk indepedensinya ketika pemerintah Indonesia yang diwakili oleh duta besar Indonesi untuk PBB, Marti Natalegawa, memberikan sikap tegas berupa abstain dalam resolusi 1803. Sikap ini akhirnya mendapatkan pujian dari masyarakat Indonesia sebagai sebuah sikap yang berdaulat dan politik luar negeri yang mengalami kemajuan yang sigifikan di tengah gelombang desakan dari negara-negara besar di Dewan Keamanan PBB.
Kooperatif
Sikap politik luar negeri Indonesia yang abstain dalam resolusi 1803 yang memberikan mandat terhadap pemberian sanksi terhadap masalah pengayaan uranium (uranium enrichment) Iran didasarkan atas sikap Iran yang telah kooperatif (mau melakukan kerja sama) dengan pihak IAEA (International Atomic Energy Agency) yang diketuai oleh Mohamed Elbaradei. Sikap koopertif Iran tersebut bisa dilihat dengan adanya pemberian kepada pihak IAEA untuk mengawasi secara berkala program nuklir Iran. Hasil pengawasan IAEA terhadap nuklir Iran menyimpulkan bahwa Iran tidak terbukti memproduksi uranium yang berujung pada pembuatan senjata nuklir
Berdasarkan dua hal tersebut yakni indepedensi pengambilan kebijakan luar negeri Indonesia dan adanya sikap kooperatif Iran terhadap Badan Pengawas Atom Internasional (IAEA) dengan pemeberian keleluasaan dalam mengawasi dan memantau masalah nuklir Iran, maka pemerintah Indonesia mengambil sikap bahwa pemeberian sanksi terhadap Iran bukan jalan keluar yang bijaksana karena setiap negara berhak untuk mengembangkan energi demi terwujudnya kesejahteraan rakyatnya.
Untuk itu sebagai sebuah bangsa yang menghargai terhadap kedaulatan negara lain dan menjunjung tingggi kemadirian dalam politik luar negeri, maka bagi bangsa Indonesia opsi abstain (tidak memberikan suara) dalam masalah nuklir Iran adalah sebuah pilihan yang tepat.
M. Fatkurrohman, M.Si adalah Alumnus Pascasarjana Konsentrasi Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogjakarta.