Oleh : M. Fathurrohman Attirmidzi[1]
Stabilitas politik dan keamanan Myanmar akhir-akhir ini mengalami kegoncangan yang sangat luar biasa. Demonstasi yang dimotori oleh ribuan biksu dan biksuni terjadi hampir di setiap kota di Myanmar. Demonstrasi ini muncul karena pihak pemerintah junta militer menaikkan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) yang terlalu tinggi sehingga tidak bisa dijangkau oleh pihak masyarakat luas. Untuk meredam para demonstran, junta militer melakukan penangkapan dan penembakan terhadap para demostran.
Untuk membantu memulihkan suasana politik dan keamanan di Myanmar, PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa), sebagai badan yang memiliki legitimasi internasional yang salah satu fungsinya menjaga ketentraman dunia internasional, telah menugaskan Ibrahim Gambari ke Myanmar untuk bertemu dengan tokoh-tokoh kunci Myanmar, yakni pemimpin junta militer Jenderal Than Swe dan tokoh demokrasi Aung San Suu Kyi.
Ibrahim Gambari merupakan sosok diplomat senior yang dikirim ke Myanmar oleh PBB pasca terjadinya demonstrasi besar-besaran dalam beberapa minggu yang lalu dengan tujuan untuk mengingatkan junta militer Myanmar agar mau menghormati HAM (Hak Asasi Manusia) dan memberikan kebebasan berdemokrasi di Myanmar. Tetapi, misi untuk mengingatkan junta militer Myanmar yang diemban oleh Gambari ternyata kandas ditengah jalan.
Ada beberapa alasan kegagalan diplomasi Ibrahim Gambari dalam mengingatkan junta militer. Pertama, munculnya serangan fajar. Setelah Ibrahim Gambari meninggalkan Myanmar yang sebelumnya berada di Myanmar beberapa hari untuk bertemu dengan pemimpin junta militer yakni Jenderal Than Swe dan tokoh demokrasi Myanmar Aung San Suu Kyi, kekerasan kembali muncul di Myanmar yang dilakukan oleh pihak junta militer dengan cara melakukan serangan fajar untuk menangkapi para demonstran yang mulai muncul lagi pasca terkurungnya ribuan biksu di kuil-kuil Myanmar.
Serangan fajar yang dilakukan oleh pihak junta militer ini sangat efektif sehingga membuat para rakyat Myanmar yang menginginkan pergantian rezim menjadi takut untuk berdemo menentang kebijakan-kebijakan otoriter yang dikeluarkan oleh pihak junta militer. Ketakutan para demonstran kian nyata ketika junta militer terus melakukan penangkapan dan penculikan dalam serangan fajar terhadap orang-orang yang dianggap berseberangan dengan pihak pemerintah. Celakanya, dalam serangan fajar tersebut pihak junta militer juga telah melakukan penangkapan terhadap staf PBB yang berada di Myanmar.
Kedua, biksu-biksu masih mendekam di kuil. Pasca pemerintah junta militer Myanmar menaikkan harga BBM yang kelewat tinggi maka ribuan biksu langsung demonstrasi turun ke jalan-jalan Myanmar guna memprotes kebijakan pemerintah tersebut. Untuk mengamankan kebijakan kenaikkan BBM, maka pihak junta militer langsung bertindak represif terhadap para biksu dengan cara mengurung mereka dalam kuil-kuil dan memenjarakan mereka.
Ketiga, pemberlakuan jam malam. Bentrokan antara para demonstran dengan para militer Myanmar telah membawa banyak korban sipil Myanmar dan wartawan Jepang yang sedang meliput jalanya aksi demonstrasi beberapa hari yang lalu. Kondisi ini akhirnya menyulut banyak orang untuk melakukan perlawanan terhadap rezim junta militer.
Untuk menghindari munculnya demonstrasi maka pihak junta militer melakukan jam malam di Myanmar dengan melakukan sweeping terhadap warga masyarkat yang berkeliaran di jalan-jalan dan melarang mereka ke luar dari rumah. Hal ini menyebabkan jalan-jalan di Myanmar di malam hari seperti kota mati.
Keempat, Aung San Suu Kyi. Kedatangan utusan khusus PBB yakni Ibrahim Gambari ke Myanmar ternyata belum bisa memberikan ruang kebebasan kepada tokoh demokrasi Myanmar. Aung San Suu Kyi merupakan tokoh demokrasi Myanmar yang memenangkan pemilu pada tahun 1990-an lewat partainya NLD (National League of Democratic) tetapi kemenanganya tersebut dianulir oleh pihak junta militer. Untuk mengantisipasi munculnya bibit-bibit demokrasi di Myanmar maka pihak junta militer memenjarakan Aung San Suu Kyi selama bertahun-tahun.
Selama bertahun-tahun di penjara, banyak negara-negara dunia internasional yang simpati terhadap kegigihan tokoh demokrasi Myanmar tersebut. Salah satu simpati yang diberikan oleh dunia internasional terhadap perjuangan Suu Kyi adalah jatuhnya nobel perdamain pada tahun 1991 kepadanya. Perjuangan Suu Kyi untuk menggelorakan demokrasi di negaranya hampir bisa disamakan dengan tokoh-tokoh dunia yang lain seperti Nelson Mandela, Gandhi, dan Marthin Luther King Jr.
Kedatangan Ibrahim Gambari selama beberapa hari dengan model shuttle diplomacy dari Yangon ke Nay Pyi Daw (ibu kota Myanmar yang baru) dilihat dari kaca mata ilmu hubungan internasional (international relations science) yang secara khusus mengkaji tentang kualitas diplomasi seorang diplomat menegaskan bahwa dipolamsi yang dimainkan oleh Gambari masih jauh dari harapan publik internasional.
Seorang ilmuan politik kenamaan yang namanya tidak asing lagi dalam ranah kajian ilmu hubungan internasional yakni Morgenthau dalam bukunya yang berjudul Politics Among Nations memberikan sebuah rambu-rambu yang sangat jelas terhadap sukses atau tidaknya seorang diplomat dalam mewujudkan misinya. Dalam posisi ini, Morgenthau menyodorkan tiga alat utama dalam berdiplomasi yang salah satunya adalah perlunya penggunaan bujukan (persuasion).
Morgenthau memberikan porsi yang sangat besar terhadap perlunya bujukan (persuasion) dalam berdiplomasi. Tetapi Gambari kurang begitu optimal dalam menggunakan alat utama dalam berdiplomasi tersebut. Hal ini nampak dari masih munculnya penangkapan terhadap warga sipil, belum jelasnya nasib para biksu yang ditahan di kuil-kuil, dan masih terbelenggunya Suu Kyi dalam tahanan junta militer.
Fakta ini membuktikan bahwa kehadiran Ibrahim Gambari sebagai utusan khusus PBB pasca terjadinya bentrokan antara demonstran dengan junta militer di Mynamar tidak ada hasil yang signifikan. Mestinya Gambari bisa lebih banyak berperan dalam memberikan rayuan atau bujukan ke pemerintahan junta militer agar memberikan ruang kebebasan ke masyarakat sipil dan menghormati HAM.
[1] Mahasiswa Pascasarjana Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada sekaligus Staf Pengajar Pondok Pesantren Almunawwir Krapyak Yogyakarta.