Welcome to the Enlightening Idea

The very powerful word combining of media makes it very overwhelming to change of the world

Senin, 09 Juli 2007

Kontroversi Ujian Nasional

Kontroversi Ujian Nasional
Polemik mengenai akan diberlangsungkanya Ujian Nasional (UN) sebagai pengganti Ujian Akhir Nasional (UAN) mendapatkan sambutan pro dan kontra dari banyak kalangan baik dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pakar pendidikan, maupun masyarakat secara umum. Rencana itu muncul setelah Mendiknas Bambang Sudibyo ingin melaksanakan Ujian Nasional bagi siswa-siswi kelas tiga SMP, SMA, dan SMK.
Kemudian yang menjadi pertanyaan kita adalah mengapa Ujian Nasional (UN) menjadi kontroversi ?. Pertanyaan ini tentu sangat menarik untuk kita diskusikan karena Ujian Nasional sebentar lagi akan segera dilaksanakan.
Ujian Akhir Nasional merupakan alat ukur standardisasi mutu yang dilaksanakan oleh pihak pemerintah pusat guna mengetahui kualitas siswa-siswi secara nasional. Untuk mencapai hal tersebut pemerintah membuat standar nilai Ujian Akhir Nasional dengan passing grade 4,25. Perubahan passing grade dari 4,01 menjadi 4,25 tentu merupakan beban berat bagi siswa karena tingkat kemampuan siswa tiap-tiap daerah sangat bervariasi. Jangankan tiap daerah, dalam satu daerah pun kualitas tiap siswa mempunyai perbedaan yang sangat tajam. Contoh, siswa yang sekolah di SMU III Yoyakarta akan mempunyai tingat kualitas yang lebih tinggi dari pada siswa yang sekolah di SMU VII. Hal tersebut bisa dilihat dari seleksi masuk ke SMU III yang ketat yang meliputi variabel Nilai Ebtanas Murni (NEM) yang berstandar kepala empat ke atas. Selain variabel NEM, varibel lain yang menunjukkan bahwa siswa SMU III lebih unggul dari dari SMU VII atau SMU-SMU lain di lingkungan Yogyakarta adalah banyaknya siswa SMU III yang bisa kuliah di fakultas dan jurusan favorit di UGM. Dan saking banyakanya siswa yang diterima di UGM, ada semacam ungkapan bahwa siswa SMU III hanya pindah kelas saja ketika kuliah di UGM.
Potret kecil tersebut tentunya membuka mata dan pikiran kita bahwa pelaksanaan Ujian Nasional nanti tidak akan maksimal atau memenuhi target. Tidak tercapainya target tersebut disebabkan oleh kurangnya pehatian pemerintah dalam membenahi sistem pendidikan nasional yang ada. Ibarat sebuah rumah, pemerintah tidak membenahi genting yang bocor, tembok yang rapuh, dan bahkan lantai yang rusak. Jadi ketika sistem pendidikan dan variabel penunjang lainya masih berantakan, sangatlah mustahil untuk mendapatkan hasil optimal dari Ujian Nasional.
Ada beberapa faktor yang menjadikan Ujian Nasional menjadi kontroversi;
Pertama, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP). Belum rampungnya pembahsan Rancangan Peraturan Pemerintah akan menjadi bumerang bagi hasil ujian nasional. Hal itu terjadi karena RPP merupakan payung hukum bagi legal atau tidaknya hasil ujian yang diperoleh oleh siswa. Ketika payung hukum bagi legalnya pelaksanaan ujian nasional tidak ada maka hasil dari ujian nasionalnya pun akan dipertanyakan oleh banyak kalangan.
Kedua, lembaga independen. Belum terbentuknya lembaga independen ini membuat semakin parahnya wajah pendidikan nasional. Lembaga independen ini memiliki peran yang sangat menentukan karena sebagai lembaga yang mengevaluasi hasil ujian nasional yang sekaligus potret kualitas pendidikan nasional. Sebagai lembaga penilai kualitas pendidikan nasional, tentunya harus diisi oleh orang-oang yang berkompeten dalam dunia pendidikan (pakar pendidikan) yang telah lolos dari uji kelayakan semacam fit and proper test. Untuk melakukan hal tersebut tentu membutuhkan waktu yang cukup dan memadahi, jadi kalau waktunya mepet seperti ini untuk mendapatkan tim penilai yang berkompeten akan jauh dari harapan.
Ketiga, kurangnya perhatian terhadap guru. Kurangnya perhatian tersebut mencakup persoalan gaji dan kualitas guru. Padahal, guru merupakan figure yang menentukan dalam proses transfer of knowledge. Ketika gaji guru kecil maka secara langsung maupun tiak langsung akan menggangu proses belajar mengajar. Contohnya, guru yang bergaji kecil akan mencari sampingan untuk menambah penghasilan pendapatanya misalnya sebagai tukang ojek, kerja bangunan, dan lain-lain. Jadi guru tidak punya waktu untuk menyiapkan diri untuk membaca buku-buku yang akan diampunya karena kondisi fisiknya sudah lelah karena tenaga sudah terforsir untuk bekerja dan mengajar. Selain minimnya gaji, faktor lainya adalah minimnya kualitas pengajar di sekolah-sekolah secara nasional. Sampai saat ini belum ada upaya pemerintah yang signifikan untuk meningkatkan kualitas pengajar. Jika pengajarnya saja kurang berkualitas maka anak didiknya pun akan bernasib sama dan bahkan lebih buruk dari pengajarnya.
Keempat, kontradiksi dengan UU no 20/2003. Dalam UU no 20/2003 tentang Sisdiknas tertulis secara jelas bahwa evaluasi siswa berada sepenuhnya di tangan guru. Dalam Undang-Undang tersebut guru adalah pihak yang paling berwenang dalam mengevaluasi hasil belajar siswa karena guru tahu secara persis kemampuan siswa-siswi didiknya. Jadi guru lah pihak yang paling berkompeten dalam menilai siswa bukan pihak pemerintah.
Dus, berdasarkan keempat faktor tersebut di atas maka keinginan pemerintah untuk melaksanakan Ujian Nasional akan memunculkan kontroversi karena rendahnya perhatian pemerintah terhadap sarana dan prasarana pendidikan serta kontradiksinya aturan main dalam ujian nasional itu sendiri.














Tidak ada komentar: