Welcome to the Enlightening Idea

The very powerful word combining of media makes it very overwhelming to change of the world

Sabtu, 30 Juni 2007

Menguatnya Liberalisasi Seks

Menguatnya Liberalisasi Seks
Oleh : Fatkurrohman[1]

Fenomena liberalisasi hubungan seks akhir-akhir ini semakin menampakkan bentuknya yang jelas. Hal itu bisa kita lihat dari banyaknya bayi-bayi yang di buang ke tempat sampah, di taruh di teras rumah penduduk, dan bahkan di letakkan begitu saja di pinggir jalan. Liberalisasi seks sudah mulai menggejala di semua level, dari anak-anak, remaja, dan bahkan orang tua. Dalam hal ini liberalisasi seks tidak mengenal batasan-batasan umur, jenjang pendidikan, dan bahkan jabatan yang melekat pada diri seseorang.
Liberalisasi seks sudah dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan bahkan liberalisasi seks cenderung untuk dipuja-puja. Hubungan seksual dan nihilnya tanggung jawab antar pelaku dalam liberalisasi seks bebas merupakan salah satu pendukung orang untuk terus mentradisikan dan bahkan mentasbihkanya sebagai sebuah peradaban modern. Mungkin pendukung liberalisasi seks akan mengatakan tidak gaul jika tidak seks bebas.
Kemudian yang menjadi pertanyaan kita adalah mengapa liberalisasi hubungan seks semakin menguat akhir-akhir ini?. Hal ini tentunya sangat menarik untuk kita diskusikan karena pengaruh liberalisasi seks sudah sangat luar biasa bagi budaya bangsa Indonesia yang konon dianggap sebagai bangsa yang beradab, berbudaya, dan kental nilai-nilai religius.
Menurut pandangan saya, menguatanya liberalisasi hubungan seks bebas akhir-akhir ini disebabkan oleh beberapa faktor.
Pertama, faktor globalisasi. Menurut pandangan David Held dalam Global Transformation (1999), mengatakan bahwa globalisasi adalah sebuah fenomena global yang melibatkan tiga variable sekaligus yang meliputi interdepedensi (saling ketergantungan), interkoneksi (saling berhubungan), dan integrasi (penyatuan). Artinya globalisasi itu ditandai dengan munculnya sikap saling ketergantungan antar negara, melahirkan hubungan yang erat antara satu negara dengan negara lain, sehingga memunculkan integrasi atau penyatuan antar negara tersebut. Ketergantungan, interkoneksi, dan integrasi itu hanya akan terwujud jika ditopang dengan kemajuan teknologi komunikasi dan teknologi transportasi.
Kemajuan teknologi komunikasi dan teknologi transpotasi saat ini betul-betul telah mengintegrasikan hubungan dan interdepedensi antar negara dalam segala bidang baik politik, ekonomi, budaya, sosial, dan lain-lain. Dalam hal ini penulis hanya akan menyoroti transfer budaya lintas negara yang berimbas ke Indonesia. Kemajuan teknologi komunikasi baik cetak (media massa) maupun elektronik (TV dan internet) telah memudahkan seseorang untuk mengakses budaya-budaya barat dalam hal ini budaya seks bebas. Kemudian seiring dengan berjalanya waktu budaya-budaya free sex tersebut kemudian dianut oleh orang-orang yang memang pemuja seks bebas.
Kedua, faktor agama. Lemah dan kuatnyanya keimanan agama yang dimiliki oleh seseorang menjadi sebuah barometer atau ukuran bagi seseorang untuk terjerumus ke dalam seks bebas atau tidak. Semakin tinggi nilai religiusitasnya maka semakin jauh dia dari perilaku seks bebas, sebaliknya semakin kecil nilai-nilai keimanan seseorang maka kans untuk terlibat seks bebas akan sangat terbuka.
Meski dalam tataran tertentu ada orang yang kelihatanya kental sandaran vertikalnya tetapi terjerumus ke dalam seks bebas, saya kira itu hanya sifatnya kasuistik saja. Setidak-tidaknya nilai-nilai keimanan tersebut bisa kita jadikan patokan secara normatif bagi seseorang untuk terjermus atau tidak dalam budaya seks bebas.
Ketiga, faktor edukasi. Dalam hal ini penulis memfokuskan pada lemahnya pendidikan seks (sex education) di level keluarga, institusi pendidikan, dan masyarakat. Di level keluarga karena kesibukan orang tuanya di kantor atau di tempat kerja lainya melahirkan minimnya perhatian keluarga terhadap putra-putrinya. Anak-anak cenderung hanya diperhatikan finansialnya (keuanganya) dari pada diberi nasehat atau motivasi tentang pentingnya berperilaku yang baik.
Jarangnya orang tua bertemu dalam satu keluarga, entah itu karena persoalan bisnis atau urusan kantor menjadikan anak merasa asing dalam keluarganya sendiri, sehingga hal ini menjadikan anak-anak cenderung untuk melakukan sesuatu sesuai dengan keinginanya sendiri. Keterasingan dan kurangnya kasih saying orang tua ini, akhirnya menjadikan anak untuk mencari kesenanganya sendiri dengan bergabung dengan teman-temanya yang bernasib sama dengan dia untuk melakukan tindakan-tindakan yang cenderung destruktif seperti drugs, kriminal, dan bahkan tidak sedikit dari mereka yang akhirnya terjun dalam seks bebas.
Hal yang lebih ironis, meminjam istilah Sirikit Syah (Jawa Pos 4/12/06) adalah munculnya fenomena televisi yang dijadikan TPA (tempat penitipan anak) oleh orang tuanya. Ketika anak-anak kecil dibiarkan menonton sendirian maka ketika ada tayangan yang tidak pas bagi usianya maka anak tersebut akan mudah untuk menirunya. Tayangan-tayangan tersebut seperti adegan ciuman, perkosaan, dan lain-lain dalam sinetron. Akibat tayangan tersebut adalah adanya kasus perkosaan yang melibatkan anak-anak yang pernah terjadi di Jogjakarta beberapa bulan yang lalu.
Keterasingan anak dalam keluarga dan menjadikan televisi sebagai penitipan anak merupakan variable yang tak terelakkan bagi anak untuk terlibat dalam lingkungan pergaulan seks bebas yang mungkin bagi mereka adalah sebagai tempat bersenang-senag (having fun) karena keluarganya sudah tidak memperhatikanya lagi.
Kemudian masuk pada edukasi di tingkat institusi pendidikan. Melemahnya peran para tenaga pendidik (guru atau dosen) dalam memberikan pemahaman tentang pendidikan seks dan bahya seks bebas. Ada kecenderungan tenaga pendidik hanya sebatas mengajar tanpa mencoba untuk menyelipkan tentang bahaya seks bebas dalam mata pelajaranya. Kurangnya perhatian guru dalam pendidikan seks ini menjadikan siswa dengan mudah membawa kondom, obat anti hamil dalam tasnya. Fenomena inilah yang kemudian menjadikan para siswa dengan mudah untuk melakukan hubungan seks bebas dengan pacarnya di lingkungan sekolah atau di luar sekolah.
Masuk pada edukasi di tingkat masyarakat. Minimnya peran masyarakat dalam memberikan pendidikan seks terhadap warganya memberikan peluang bagi orang untuk berbuat mesum dengan lawan jenisnya. Kondisi ini diperparah dengan cueknya masyarakat ketika melihat pasangan muda-mudi yang sedang berduan dalam kosnya yang sengaja pintunya setengah dibuka untuk mengelabuhi masyarakat agar tidak mengganggu “aktivitas” mereka. Untuk membuktikan semakin minimnya peran masyarakat, khusunya para pemilik kos terhadap anak-anak kosnya telah melahirkan fenomena seks bebas adalah adanya penelitian Iip Wijayanto kurang lebih empat tahunyang lalu yang mengungkapkan sebanyak 97,5 % mahasiswi Jogjakarta tidak perawan.
Ketiga faktor tersebut itulah yang menurut saya merupakn faktor pendukung semakin menguatnya liberalisasi hubungan seks di level anak-anak dan remaja saat ini yang dari hari ke hari semakin menjadi trend dan bahkan semakin menemukan bentuknya sebagai sebuah peradaban modern.Wallohu a’lam bissowab.
[1] Mahasiswa Pascasarjana Konsentrasi Hubungan Internasional UGM, Santri Pondok Pesantren Almunawwir Krapyak Jogjakarta, dan ketua e L _SEA (e L _ Santri English Activity) Krapyak Jogjakarata.

Tidak ada komentar: